Selama ini kalau kita berbicara
tentang muamalah, terutama ekonomi, kita akan berbicara tentang apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh. Hal ini memang merupakan prinsip dasar dari muamalah
itu sendiri, yang menyatakan: “Perhatikan apa yang dilarang, diluar itu maka
boleh dikerjakan.” Tetapi pertanyaan kemudian mengemuka, seperti apakah ekonomi
dalam sudut pandang Islam itu sendiri? Bagaimana filosofi dan kerangkanya? Dan
bagaimanakah ekonomi Islam yang ideal itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, maka sebenarnya kita perlu melihat bagaimanakah metodologi dari
ekonomi Islam itu sendiri. Muhammad Anas Zarqa (1992), menjelaskan bahwa
ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah
presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari
ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid.
Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam
membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature
of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi
yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam.
Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini
menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan
dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka
ekonomi Islam dibangun.
Ahli ekonomi Islam lainnya,
Masudul Alam Choudhury (1998), menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu
perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan
demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah
konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan
perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional
tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang
tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang
miskin.
Pertanyaan kemudian muncul,
apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di
negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic
system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan
ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang
nyata?
Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, Umar Chapra (2000) menjelaskan
bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan
positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu permasalahan dari yang
seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan
aliran positif memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi.
Aliran positif ini pun kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional.
Perilaku yang selalu melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan
nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.
Lalu apa hubungannya kedua aliran
tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah akan
selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber dari dua
aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam akan diterapkan, akan ada
yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis,
maka penulis akan menyatakan ‘Ya’, Islam dapat diterapkan dalam sebuah sistem
ekonomi.
Tetapi optimisme ini akan dapat
terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika
berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan (Tag El Din, 2005).
Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala pihak
lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang juga
diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita. Islam sebenarnya memandang penting
adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk dari distribusi itu
sendiri.
Maka, sesungguhnya kerangka dasar
dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodolodi dari Muhammad Anas Zarqa, yang
kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan
konsep shuratic process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari
kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan
nyata. Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan
kualitas sumber daya manusianya (Al Harran, 1996). Utilitas yang optimal akan lahir manakala
distribusi dan adanya etika yang menjadi acuan dalam berperilaku ekonomi. Oleh
karena itu semangat untuk memiliki etika dan perilaku yang ihsan kini harus
dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar
ekonomi Islam dapat benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan
menciptakan keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar